Di Indonesia, berdasarkan konflik dan pergolakan yang berkait dengan sistem pemerintahan pernah terjadi dua peristiwa besar. Berikut adalah dua peristiwa tersebut.
Pemberontakan PRRI dan Persemesta
1.
Latar
Belakang Terjadinya Gerakan PRRI dan Persemesta
Sejak
tahun 1950, daerah luar jawa seperti Sulawesi dan Sumatra menjadi produsen
ekspor, namun hasil dari ekspor tersebut lebih dimanfaatkan oleh pusat. Kondisi
inilah yang menyebabkan kecenderungan “sentralistik” dalam pandangan rakyat.
Hubungan antara pusat dan daerah menjadi kurang harmonis. Hal tersebut
dikarenakan perbedaan pendapat antara daerah dengan pusat. Daerah menganggap
bahwa kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan daerah. Sedangkan pemerintah
pusat menganggap bahwa daerah kurang mampu dalam melaksanakan tugasnya.
Daerah
luar Jawa merasa tidak puas dengan keadaan yang ada, karena mereka menganggap
bahwa dana alokasi untuk daerah dirasakan sangat kurang dan tidak mencukupi
untuk melaksanakan pembangunan. Pada akhirnya muncul upaya dari pihak militer
yang mendapat dukungan dari beberapa tokoh sipil untuk melakukan koreksi
terhadap kebijakan- kebijakan pemerintah.
Kegagalan
pembangunan ekonomi yang di alami bangsa ini sangat dirasakan oleh berbagai
golongan. Salah satunya adalah golongan prajurit yang merasakan kesulitan
tersebut. Tindakan-tindakan pemerintah dalam masalah ekonomi seperti
penyalahgunaan devisa, pemberian ijin istimewa kepada anggota partai penyokongnya
serta birokrasi yang berbelit-belit menghambat para pedagang. Para pimpinan
pasukan di berbagai wilayah juga dibuat kesal oleh alokasi keuangan yang tidak
terlaksana semestinya bagi operasi-operasi militer serta kesejahteraan prajurit.
Akhirnya tindakan ekspor atau barter dilakukan tanpa disesuaikan dengan
prosedur di Jakarta.
2.
Terjadinya
Gerakan PRRI dan Persemesta
Karena
beberapa ketidakpuasan
tersebut, akhirnya memicu terbentuknya dewan – dewan militer daerah yaitu
1. Dewan
Gajah yang dipimpin oleh Kol Simbolon di Sumatera Utara
2. Dewan
Banteng di Sumatera Tengah dipimpin oleh Ahmad Husein
3. Dewan
Garuda di Sumatera Selatan dipimpin oleh Dhlan Djambek
4. Dewan
Manguni di Sulawesi yang dipimpin oleh Kol. Ventje Sumual
Dewan-dewan tersebut menuntut adanya
perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, terutama dalam melaksanakan
eksploitasi hasil bumi. Kemudian dewan – dewan ini mengambil alih kekuasaan
pemerintah di daerahnya masing – masing.
Sementara itu di Indonesia bagian timur juga terjadi
pergolakan. Tanggal 2 Maret 1957 di Makassar,
Panglima TT VII Letkol Ventje Sumual memproklamasikan Piagam Perjoangan Rakyat Semesta (Permesta). Piagam tersebut
ditandatangani oleh 51 tokoh. Wilayah gerakannya meliputi Sulawesi, Nusa
Tenggara, dan Maluku. Untuk memperlancar gerakannya dinyatakan bahwa daerah
Indonesia bagian timur dalam keadaan bahaya. Seluruh pemerintahan daerah
diambil alih oleh militer pemberontak.
Untuk meredakan pergolakan di daerah maka pada tanggal 14
September 1957 dilaksanakan Musyawarah Nasional (Munas) yang dihadiri
tokoh-tokoh nasional baik di pusat maupun di daerah. Membicarakan mengenai
masalah pemerintahan, masalah daerah, ekonomi, keuangan, angkatan perang,
kepartaian, serta masalah dwitunggal Soekarno-Hatta. Sebagai tindak lanjut Munas
maka diselenggarakan Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap) yang bertempat di
Gedung Olah raga Medan Merdeka Selatan Jakarta. Dengan Tujuan merumuskan
usaha-usaha pembangunan sesuai dengan keinginan daerah-daerah. Untuk membantu
mengatasi persoalan di lingkungan Angkatan Darat dibentuklah panitia Tujuh,
akan tetapi sebelum panitia tujuh mengumumkan hasil pekerjaannya terjadilah
peristiwa Cikini
(percobaan pembunuhan pada Presiden Soekarno).
Peristiwa Cikini ini semakin memperburuk keadaan di
Indonesia. Daerah-daerah yang bergejolak semakin menunjukkan jati dirinya
sebagai gerakan melepaskan diri dari pemerintah pusat. Bahkan pada tanggal 9
Januari 1958 diselenggarakan pertemuan di Sumatra Barat yang dihadiri
tokoh-tokoh sipil dan militer daerah. Pada 10 Januari 1958 diselenggarakan
rapat raksasa di Padang. Dalam pidatonya, Ketua Dewan Banteng, Achmad Husein
menyampaikan ultimatum kepada pemerintah pusat yang berisi.
1. Dalam waktu 5 x
24 jam kabinet Djuanda menyerahkan mandat kepada presiden.
2. Presiden
menugaskan kepada Moh. Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX untuk membentuk Zaken Kabinet yaitu kabinet yang bebas dari pengaruh PKI
(komunis).
3. Meminta
presiden kembali kepada kedudukannya sebagai Presiden Konstitusional.
Menanggapi ultimatum tersebut, Sidang Dewan Menteri
memutuskan untuk menolaknya dan memecat secara tidak terhormat perwira-perwira
TNI-AD yang duduk dalam pimpinan gerakan sparatis, yaitu Letkol Achmad Husein,
Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Dachlan Djambek, dan Kolonel Simbolon. Pada 12
Februari 1958, KSAD A.H Nasution mengeluarkan perintah untuk membekukan Kodim
Sumatra Tengah dan selanjutnya dikomando langsung oleh KSAD.
Sementara itu pada, 15 Februari 1958, Achmad Husein
memproklamasikan berdirinya Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan Syarifudin Prawiranegara sebagai perdana menterinya. Proklamasi
PRRI mendapatkan sambutan dari Indonesia bagian Timur. Dalam rapat-rapat
raksasa yang dilaksanakan di beberapa daerah Komando Daerah Militer Sulawesi
Utara dan Tengah, Kolonel D. J Somba mengeluarkan pernyataan bahwa sejak
tanggal 17 Februari 1958 Kodim Sulawesi Utara dan Tengah (KDMSUT) menyatakan
putus hubungan dengan pemerintah pusat dan mendukung PRRI.
3.
Operasi
Penumpasan PRRI dan Persemesta
Dengan diproklamasikannya PRRI di
Sumatra yang diikuti oleh Permesta di Indonesia bagian Timur, Pemerintah
memutuskan untuk tidak membiarkan masalah ini berlarut-larut dan segera
menyelesaikannya dengan kekuatan senjata. Untuk menumpas pemberontakan
PRRI di Sumatra, segera disiapkan operasi gabungan yang terdiri dari unsur-unsur
darat, laut, dan udara.
Pertama-tama dilancarkan Operasi
Tegas dibawah pimpinan Letnan Kolonel Kaharuddin Nasution untuk menguasai
daerah Riau. Pertimbangannya adalah untuk mengamankan instalasi-instalasi
minyak asing di daerah tersebut dan untuk mencegah campur tangan asing dengan
dalih menyelamatkan warga negara dan miliknya. Kota Pekanbaru berhasil dikuasai
pada tanggal 12 Mei 1958.
Untuk mengamankan daerah Sumatra
Barat dilancarkan Operasi 17 Agustus di bawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani. Pada
tanggal 17 Apri di Padang dapat dikuasai oleh pasukan Angkatan Perang dan pada
tanggal 4 Mei menyusul Kota Bukittinggi.
Sementara itu di daerah Sumatra
Utara dilancarkan Operasi Saptamarga di bawah pimpinan Brigadir Jenderal
Djatikusumo. Untuk daerah Sumatra Selatan dilancarkan Operasi Sadar di bawah
pimpinan Letnan Kolonel Dr. Ibnu Sutowo.
Pimpinan PRRI akhirnya menyerah satu
persatu. Pada tanggal 29 Mei 1961 secara resmi Achmad Husein melaporkan diri
dengan pasukannya, disusul oleh tokoh PRRI yang lain, baik militer maupun
sipil.
Dan untuk menumpas Pemberontakan Permesta di Indonesia
bagian timur di lancarkan sebuah operasi gabungan dengan nama Operasi Merdeka
di bawah pimpinan Letnan Kolonel Rukmito Hendradiningrat. Operasi ini terdiri
dari beberapa bagian:
1. Operasi Saptamarga I di bawah
pimpinan Letnan Kolonel Soemarsono dengan daerah sasaran Sulawesi Utara bagian
Tengah.
2. Operasi Saptamarga II di bawah
pimpinan Letnan Kolonel Agus Prasmono dengan sasaran Sulawesi Utara bagian
Selatan.
3. Operasi Saptamarga III di bawah
pimpinan Letnan Kolonel Magenda dengan daerah sasaran kepulauan Sebelah utara
Manado.
4. Operasio Saptamarga IV di bawah
pimpinan langsung Letnan Kolonel Rukmito Hendradiningrat dengan daerah sasaran
Sulawesi Utara.
5. Operasi Mena I di bawah pimpinan
Letnan Kolonel Pieters dengan daerah sasaran Jailolo; dan
6. Operasi Mena II di bawah pimpinan
Letnan Kolonel KKO Hunholz untuk merebut lapangan udara Morotai di sebelah
utara Halmahera.
Sebelum
operasi pokok dilancarkan, di Sulawesi Tengah telah bergerak Kesatuan-Kesatuan
yang tergabung dalam Operasi Insyaf yang dikoordinasi oleh Komando antar Daerah
Indonesia bagian Timur (Koandait). Termasuk ke dalam operasi ini
gerakan-gerakan yang di lakukan oleh kesatuan-kesatuan yang setia kepada
Pemerintah yang dipimpin oleh Kapten Frans Karangan dan Kesatuan Polisi dibawah
pimpinan Inspektur Polisi Suaeb. Operasi ini berhasil menguasai kota-kota
Donggala dan Parigi, sedangkan kesatuan-kesatuan yang dipimpin oleh Nani
Wartabone (Pasukan Rimba) berhasil menyiapkan pancangan kaki bagi pendaratan
pasukan-pasukan Operasi Saptamarga II di Gorontalo.
Operasi-operasi
militer APRI di Indonesia bagian Timur menghadapi perlawanan yang lebih berat
dibandingkan dengan operasi di Sumatra karena situasi daerah yang menguntungkan
pemberontak dan persenjataan mereka cukup kuat. Namun akhirnya pemerintah
berhasil menguasai daerah-daerah tersebut. Pada pertengahan tahun 1961 sisa-sisa
Permesta menyerahkan diri memenuhi seruan Pemerintah dan keamanan dapat
dipulihkan sepenuhnya.
Persoalan Negara Federal dan BFO
1.
Latar
Belakang Terjadinya Persoalan Negara Federal dan BFO
Penjajahan Belanda
meninggalkan banyak kenangan pahit bagi bangsa Indonesia. Salah satu kenangan
pahit yang pernah dialami oleh bangsa Indonesia sebelum merdeka adalah
dibentuknya Negara boneka oleh Belanda. Tokoh Belanda yang menciptakan negara
boneka di Indonesia adalah Dr. Hubertus Johannes van Mook.
Dr. Hubertus Johannes
van Mook memprakarsai berdirinya negara boneka RIS pada tanggal 15 Juli 1946
dengan menyelenggarakan Konferensi Malino, Sulawesi Selatan. Konferensi ini
dalam rangka membahas pembentukan negara bagian dari suatu negara federal.
Konferensi yang berlangsung di Malino ini menjadi awal dari ide van Mook untuk
membentuk negara boneka.
Pembentukan negara
boneka ini bukan tanpa tujuan, negara boneka yang akan dibentuk nantinya
digunakkan untuk mengepung dan melemahkan keberadaan negara Republik Indonesia.
Negara boneka ini nantinya akan dijadikan sarana untuk mengadu domba bangsa
Indonesia, sekaligus perwujudan dari politik Devide et Impera. Setiap negara
bagian atau negara boneka yang diciptakan Belanda tersebut dipimpin oleh
seorang yang ditunjuk oleh Belanda.
2.
Terjadinya Persoalan Negara Federal dan BFO
Pada tanggal 29 Mei 1948 diselenggarakan Konferensi
Federal di Bandung, yang dihadiri oleh perwakilan negara-negara di luar
Republik Indonesia yang diciptakkan dan dikuasai Belanda. Konferensi ini
dipimpin oleh Mr. Aidil Puradiredja, Perdana Menteri Negara Pasundan. Hasil
konferensi tersebut adalah terbentuknya BFO (Bijenkomst voor Federaal Overleg),
semacam badan permusyawaratan federal, Pembentukan BFO ini bisa dikatakan
sebagai pelaksanaan Perjanjian Linggarjati 1946, dan sebagai awal berdirinya
Republik Indonesia Serikat yang oleh van Mook diharapkan Republik Indonesia
juga akan bergabung, sehingga tujuan menguasai kembali bumi nusantara akan
tercapai. Sebagai ketua BFO dipilihlah Sultan Hamid II dari Pontianak
Di dalam BFO terhimpun negara-negara boneka ciptaan
Belanda. Berikut adalah negara-negara boneka ciptaan Belanda:
1.
Negara Indonesia
Timur
Berdiri
: Desember 1946
Wilayah : Timur Selat
Makasar dan Selat Bali
Pemimpin : Tjokorda
Gede Raka Sukawati
2.
Negara Sumatera
Timur
Berdiri
: 25 Desember 1945 (diresmikan pada tanggal 16 Februari 1947)
Wilayah
: Kota Medan dan sekitarnya
Pemimpin
: Dr. Mansur
3.
Negara Sumatera
Selatan
Berdiri
: 30 Agustus 1948
Wilayah
: Kota Palembang dan sekitarnya
Pemimpin
: Abdul Malik
4.
Negara Jawa
Timur
Berdiri
: 26 Nopember 1948
Wilayah
: Kota Surabaya, Malang dan daerah-daerah sebelah timur hingga ke Banyuwangi
Pemimpin
: R. T. Kusumonegoro
5.
Negara Pasundan
Berdiri
: 26 Februari 1948
Wilayah
: Priangan, Jawa Barat dan sekitarnya
Pemimpin
: R. A. A. Wiranata Kusumah
6.
Negara Madura
Berdiri
: 16 Januari 1948
Wilayah
: Kota Madura dan sekitarnya
Pemimpin :
Tjakraningrat
Selain negara-negara
boneka yang diciptakan oleh Belanda, terdapat juga daerah-daerah yang memiliki
otonomi seperti Kalimantan Barat, Dayak Besar, Banjar, Kalimantan Tenggara,
Jawa Tengah, Bangka, Belitung, dan Riau. Daerah-daerah tersebut dikepalai oleh
Sultan Hamid II.
Konsep
Negara Federal dan “Persekutuan” Negara Bagian (BFO/ Bijeenkomst Federal
Overleg) mau tidak mau menimbulkan potensi perpecahan di kalangan bangsa
Indonesia sendiri setelah kemerdekaan. Persaingan yang timbul terutama adalah
antara golongan federalis yang ingin bentuk negara federal dipertahankan dengan
golongan unitaris yang ingin Indonesia menjadi negara kesatuan.
Dalam
konferensi Malino di Sulawesi Selatan pada 24 Juli 1946 misalnya, pertemuan
untuk membicarakan tatanan federal yang diikuti oleh wakil dari berbagai daerah
non RI itu, ternyata mendapat reaksi keras dari para politisi pro RI yang ikut
serta. Mr. Tadjudin Noor dari Makasar bahkan begitu kuatnya mengkritik hasil
konferensi. Perbedaan keinginan agar bendera Merah-Putih dan lagu Indonesia
Raya digunakan atau tidak oleh Negara Indonesia Timur (NIT) juga menjadi
persoalan yang tidak bisa diputuskan dalam konferensi. Kabinet NIT juga secara
tidak langsung ada yang jatuh karena persoalan negara federal ini (1947).
Dalam
tubuh BFO juga bukan tidak terjadi pertentangan. Sejak pembentukannya di
Bandung pada bulan Juli 1948, BFO telah terpecah ke dalam dua kubu. Kelompok
pertama menolak kerjasama dengan Belanda dan lebih memilih RI untuk diajak
bekerjasama membentuk Negara Indonesia Serikat. Kubu ini dipelopori oleh Ide
Anak Agung Gde Agung (NIT) serta R.T. Adil Puradiredja dan R.T. Djumhana
(Negara Pasundan). Kubu kedua dipimpin oleh Sultan Hamid II (Pontianak) dan dr.
T. Mansur (Sumatera Timur). Kelompok ini ingin agar garis kebijakan bekerjasama
dengan Belanda tetap dipertahankan BFO. Ketika Belanda melancarkan Agresi
Militer II-nya, pertentangan antara dua kubu ini kian sengit. Dalam
sidang-sidang BFO selanjutnya kerap terjadi konfrontasi antara Anak Agung
dengan Sultan Hamid II. Dikemudian hari, Sultan Hamid II ternyata bekerjasama
dengan APRA Westerling mempersiapkan pemberontakan terhadap pemerintah RIS.
Setelah Konferensi Meja Bundar atau KMB (1949), persaingan antara golongan
federalis dan unitaris makin lama makin mengarah pada konflik terbuka di bidang
militer, pembentukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) telah
menimbulkan masalah psikologis. Salah satu ketetapan dalam KMB menyebutkan
bahwa inti anggota APRIS diambil dari TNI, sedangkan lainnya diambil dari personel
mantan anggota KNIL. TNI sebagai inti APRIS berkeberatan bekerjasama dengan
bekas musuhnya, yaitu KNIL. Sebaliknya anggota KNIL menuntut agar mereka
ditetapkan sebagai aparat negara bagian dan mereka menentang masuknya anggota
TNI ke negara bagian. Kasus APRA Westerling dan mantan pasukan KNIL Andi Aziz
sebagaimana telah dibahas sebelumnya adalah cermin dari pertentangan ini.
Namun
selain pergolakan yang mengarah pada perpecahan, pergolakan bernuansa positif
bagi persatuan bangsa juga terjadi. Hal ini terlihat ketika negara-negara
bagian yang keberadaannya ingin dipertahankan setelah KMB, harus berhadapan
dengan tuntutan rakyat yang ingin agar negaranegara bagian tersebut bergabung
ke RI.
Jadi konflik dan pergolakan yang berkait dengan sistem pemerintahan pernah terjadi seperti yang dipaparkan diatas. Dan sudah tugas kita sebagai generus bangsa yang berkualitas untuk menjaga sistem pemerintahan RI,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar