Sabtu, 12 November 2016

Konflik dan Pergolakan yang Berkait dengan Sistem Pemerintahan

Dalam sejarah Indonesia, sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945. Setelahnya, masih banyak terdapat berbagai konflik dan pergolakan. Konflik dan pergolakan tersebut dapat berupa konflik pada bidang ekonomi, bidang ideologi dan lain - lain. Maka dari itu, postingan hari ini mengambil tema tentang konflik dan pergolakan dalam sistem pemerintahan.

Di Indonesia, berdasarkan konflik dan pergolakan yang berkait dengan sistem pemerintahan pernah terjadi dua peristiwa besar. Berikut adalah dua peristiwa tersebut.

Pemberontakan PRRI dan Persemesta
1.                              Latar Belakang Terjadinya Gerakan PRRI dan Persemesta
Sejak tahun 1950, daerah luar jawa seperti Sulawesi dan Sumatra menjadi produsen ekspor, namun hasil dari ekspor tersebut lebih dimanfaatkan oleh pusat. Kondisi inilah yang menyebabkan kecenderungan “sentralistik” dalam pandangan rakyat. Hubungan antara pusat dan daerah menjadi kurang harmonis. Hal tersebut dikarenakan perbedaan pendapat antara daerah dengan pusat. Daerah menganggap bahwa kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan daerah. Sedangkan pemerintah pusat menganggap bahwa daerah kurang mampu dalam melaksanakan tugasnya.
Daerah luar Jawa merasa tidak puas dengan keadaan yang ada, karena mereka menganggap bahwa dana alokasi untuk daerah dirasakan sangat kurang dan tidak mencukupi untuk melaksanakan pembangunan. Pada akhirnya muncul upaya dari pihak militer yang mendapat dukungan dari beberapa tokoh sipil untuk melakukan koreksi terhadap kebijakan- kebijakan pemerintah.
Kegagalan pembangunan ekonomi yang di alami bangsa ini sangat dirasakan oleh berbagai golongan. Salah satunya adalah golongan prajurit yang merasakan kesulitan tersebut. Tindakan-tindakan pemerintah dalam masalah ekonomi seperti penyalahgunaan devisa, pemberian ijin istimewa kepada anggota partai penyokongnya serta birokrasi yang berbelit-belit menghambat para pedagang. Para pimpinan pasukan di berbagai wilayah juga dibuat kesal oleh alokasi keuangan yang tidak terlaksana semestinya bagi operasi-operasi militer serta kesejahteraan prajurit. Akhirnya tindakan ekspor atau barter dilakukan tanpa disesuaikan dengan prosedur di Jakarta.


2.                              Terjadinya Gerakan PRRI dan Persemesta
Karena beberapa ketidakpuasan tersebut, akhirnya memicu terbentuknya dewan – dewan militer daerah yaitu
1.      Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kol Simbolon di Sumatera Utara
2.      Dewan Banteng di Sumatera Tengah dipimpin oleh Ahmad Husein
3.      Dewan Garuda di Sumatera Selatan dipimpin oleh Dhlan Djambek
4.      Dewan Manguni di Sulawesi yang dipimpin oleh Kol. Ventje Sumual
Dewan-dewan tersebut menuntut adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, terutama dalam melaksanakan eksploitasi hasil bumi. Kemudian dewan – dewan ini mengambil alih kekuasaan pemerintah di daerahnya masing – masing.
Sementara itu di Indonesia bagian timur juga terjadi pergolakan. Tanggal 2 Maret 1957 di Makassar, Panglima TT VII Letkol Ventje Sumual memproklamasikan Piagam Perjoangan Rakyat Semesta (Permesta). Piagam tersebut ditandatangani oleh 51 tokoh. Wilayah gerakannya meliputi Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku. Untuk memperlancar gerakannya dinyatakan bahwa daerah Indonesia bagian timur dalam keadaan bahaya. Seluruh pemerintahan daerah diambil alih oleh militer pemberontak.
Untuk meredakan pergolakan di daerah maka pada tanggal 14 September 1957 dilaksanakan Musyawarah Nasional (Munas) yang dihadiri tokoh-tokoh nasional baik di pusat maupun di daerah. Membicarakan mengenai masalah pemerintahan, masalah daerah, ekonomi, keuangan, angkatan perang, kepartaian, serta masalah dwitunggal Soekarno-Hatta. Sebagai tindak lanjut Munas maka diselenggarakan Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap) yang bertempat di Gedung Olah raga Medan Merdeka Selatan Jakarta. Dengan Tujuan merumuskan usaha-usaha pembangunan sesuai dengan keinginan daerah-daerah. Untuk membantu mengatasi persoalan di lingkungan Angkatan Darat dibentuklah panitia Tujuh, akan tetapi sebelum panitia tujuh mengumumkan hasil pekerjaannya terjadilah peristiwa Cikini (percobaan pembunuhan pada Presiden Soekarno).
Peristiwa Cikini ini semakin memperburuk keadaan di Indonesia. Daerah-daerah yang bergejolak semakin menunjukkan jati dirinya sebagai gerakan melepaskan diri dari pemerintah pusat. Bahkan pada tanggal 9 Januari 1958 diselenggarakan pertemuan di Sumatra Barat yang dihadiri tokoh-tokoh sipil dan militer daerah. Pada 10 Januari 1958 diselenggarakan rapat raksasa di Padang. Dalam pidatonya, Ketua Dewan Banteng, Achmad Husein menyampaikan ultimatum kepada pemerintah pusat yang berisi.
1.      Dalam waktu 5 x 24 jam kabinet Djuanda menyerahkan mandat kepada presiden.
2.      Presiden menugaskan kepada Moh. Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX untuk membentuk Zaken Kabinet yaitu kabinet yang bebas dari pengaruh PKI (komunis).
3.      Meminta presiden kembali kepada kedudukannya sebagai Presiden Konstitusional.
Menanggapi ultimatum tersebut, Sidang Dewan Menteri memutuskan untuk menolaknya dan memecat secara tidak terhormat perwira-perwira TNI-AD yang duduk dalam pimpinan gerakan sparatis, yaitu Letkol Achmad Husein, Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Dachlan Djambek, dan Kolonel Simbolon. Pada 12 Februari 1958, KSAD A.H Nasution mengeluarkan perintah untuk membekukan Kodim Sumatra Tengah dan selanjutnya dikomando langsung oleh KSAD.
Sementara itu pada, 15 Februari 1958, Achmad Husein memproklamasikan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan Syarifudin Prawiranegara sebagai perdana menterinya. Proklamasi PRRI mendapatkan sambutan dari Indonesia bagian Timur. Dalam rapat-rapat raksasa yang dilaksanakan di beberapa daerah Komando Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah, Kolonel D. J Somba mengeluarkan pernyataan bahwa sejak tanggal 17 Februari 1958 Kodim Sulawesi Utara dan Tengah (KDMSUT) menyatakan putus hubungan dengan pemerintah pusat dan mendukung PRRI.

3.                              Operasi Penumpasan PRRI dan Persemesta
Dengan diproklamasikannya PRRI di Sumatra yang diikuti oleh Permesta di Indonesia bagian Timur, Pemerintah memutuskan untuk tidak membiarkan masalah ini berlarut-larut dan segera  menyelesaikannya dengan kekuatan senjata. Untuk menumpas pemberontakan PRRI di Sumatra, segera disiapkan operasi gabungan yang terdiri dari unsur-unsur darat, laut, dan udara.
Pertama-tama dilancarkan Operasi Tegas dibawah pimpinan Letnan Kolonel Kaharuddin Nasution untuk menguasai daerah Riau. Pertimbangannya adalah untuk mengamankan instalasi-instalasi minyak asing di daerah tersebut dan untuk mencegah campur tangan asing dengan dalih menyelamatkan warga negara dan miliknya. Kota Pekanbaru berhasil dikuasai pada tanggal 12 Mei 1958.
Untuk mengamankan daerah Sumatra Barat dilancarkan Operasi 17 Agustus di bawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani. Pada tanggal 17 Apri di Padang dapat dikuasai oleh pasukan Angkatan Perang dan pada tanggal 4 Mei menyusul Kota Bukittinggi.
Sementara itu di daerah Sumatra Utara dilancarkan Operasi Saptamarga di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Djatikusumo. Untuk daerah Sumatra Selatan dilancarkan Operasi Sadar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Dr. Ibnu Sutowo.
Pimpinan PRRI akhirnya menyerah satu persatu. Pada tanggal 29 Mei 1961 secara resmi Achmad Husein melaporkan diri dengan pasukannya, disusul oleh tokoh PRRI yang lain, baik militer maupun sipil.
Dan untuk menumpas Pemberontakan Permesta di Indonesia bagian timur di lancarkan sebuah operasi gabungan dengan nama Operasi Merdeka di bawah pimpinan Letnan Kolonel Rukmito Hendradiningrat. Operasi ini terdiri dari beberapa bagian:
1.      Operasi Saptamarga I di bawah pimpinan Letnan Kolonel Soemarsono dengan daerah sasaran Sulawesi Utara bagian Tengah.
2.      Operasi Saptamarga II di bawah pimpinan Letnan Kolonel Agus Prasmono dengan sasaran Sulawesi Utara bagian Selatan.
3.      Operasi Saptamarga III di bawah pimpinan Letnan Kolonel Magenda dengan daerah sasaran kepulauan Sebelah utara Manado.
4.      Operasio Saptamarga IV di bawah pimpinan langsung Letnan Kolonel Rukmito Hendradiningrat dengan daerah sasaran Sulawesi Utara.
5.      Operasi Mena I di bawah pimpinan Letnan Kolonel Pieters dengan daerah sasaran Jailolo; dan
6.      Operasi Mena II di bawah pimpinan Letnan Kolonel KKO Hunholz untuk merebut lapangan udara Morotai di sebelah utara Halmahera.
Sebelum operasi pokok dilancarkan, di Sulawesi Tengah telah bergerak Kesatuan-Kesatuan yang tergabung dalam Operasi Insyaf yang dikoordinasi oleh Komando antar Daerah Indonesia bagian Timur (Koandait). Termasuk ke dalam operasi ini gerakan-gerakan yang di lakukan oleh kesatuan-kesatuan yang setia kepada Pemerintah yang dipimpin oleh Kapten Frans Karangan dan Kesatuan Polisi dibawah pimpinan Inspektur Polisi Suaeb. Operasi ini berhasil menguasai kota-kota Donggala dan Parigi, sedangkan kesatuan-kesatuan yang dipimpin oleh Nani Wartabone (Pasukan Rimba) berhasil menyiapkan pancangan kaki bagi pendaratan pasukan-pasukan Operasi Saptamarga II di Gorontalo.
Operasi-operasi militer APRI di Indonesia bagian Timur menghadapi perlawanan yang lebih berat dibandingkan dengan operasi di Sumatra karena situasi daerah yang menguntungkan pemberontak dan persenjataan mereka cukup kuat. Namun akhirnya pemerintah berhasil menguasai daerah-daerah tersebut. Pada pertengahan tahun 1961 sisa-sisa Permesta menyerahkan diri memenuhi seruan Pemerintah dan keamanan dapat dipulihkan sepenuhnya.



Persoalan Negara Federal dan BFO

1.                              Latar Belakang Terjadinya Persoalan Negara Federal dan BFO
Penjajahan Belanda meninggalkan banyak kenangan pahit bagi bangsa Indonesia. Salah satu kenangan pahit yang pernah dialami oleh bangsa Indonesia sebelum merdeka adalah dibentuknya Negara boneka oleh Belanda. Tokoh Belanda yang menciptakan negara boneka di Indonesia adalah Dr. Hubertus Johannes van Mook.
Dr. Hubertus Johannes van Mook memprakarsai berdirinya negara boneka RIS pada tanggal 15 Juli 1946 dengan menyelenggarakan Konferensi Malino, Sulawesi Selatan. Konferensi ini dalam rangka membahas pembentukan negara bagian dari suatu negara federal. Konferensi yang berlangsung di Malino ini menjadi awal dari ide van Mook untuk membentuk negara boneka.
Pembentukan negara boneka ini bukan tanpa tujuan, negara boneka yang akan dibentuk nantinya digunakkan untuk mengepung dan melemahkan keberadaan negara Republik Indonesia. Negara boneka ini nantinya akan dijadikan sarana untuk mengadu domba bangsa Indonesia, sekaligus perwujudan dari politik Devide et Impera. Setiap negara bagian atau negara boneka yang diciptakan Belanda tersebut dipimpin oleh seorang yang ditunjuk oleh Belanda.

2.                              Terjadinya Persoalan Negara Federal dan BFO
Pada tanggal 29 Mei 1948 diselenggarakan Konferensi Federal di Bandung, yang dihadiri oleh perwakilan negara-negara di luar Republik Indonesia yang diciptakkan dan dikuasai Belanda. Konferensi ini dipimpin oleh Mr. Aidil Puradiredja, Perdana Menteri Negara Pasundan. Hasil konferensi tersebut adalah terbentuknya BFO (Bijenkomst voor Federaal Overleg), semacam badan permusyawaratan federal, Pembentukan BFO ini bisa dikatakan sebagai pelaksanaan Perjanjian Linggarjati 1946, dan sebagai awal berdirinya Republik Indonesia Serikat yang oleh van Mook diharapkan Republik Indonesia juga akan bergabung, sehingga tujuan menguasai kembali bumi nusantara akan tercapai. Sebagai ketua BFO dipilihlah Sultan Hamid II dari Pontianak
Di dalam BFO terhimpun negara-negara boneka ciptaan Belanda. Berikut adalah negara-negara boneka ciptaan Belanda:
1.      Negara Indonesia Timur
Berdiri : Desember 1946
Wilayah : Timur Selat Makasar dan Selat Bali
Pemimpin : Tjokorda Gede Raka Sukawati
2.      Negara Sumatera Timur
Berdiri : 25 Desember 1945 (diresmikan pada tanggal 16 Februari 1947)
Wilayah : Kota Medan dan sekitarnya
Pemimpin : Dr. Mansur
3.      Negara Sumatera Selatan
Berdiri : 30 Agustus 1948
Wilayah : Kota Palembang dan sekitarnya
Pemimpin : Abdul Malik
4.      Negara Jawa Timur
Berdiri : 26 Nopember 1948
Wilayah : Kota Surabaya, Malang dan daerah-daerah sebelah timur hingga ke Banyuwangi
Pemimpin : R. T. Kusumonegoro
5.      Negara Pasundan
Berdiri : 26 Februari 1948
Wilayah : Priangan, Jawa Barat dan sekitarnya
Pemimpin : R. A. A. Wiranata Kusumah
6.      Negara Madura
Berdiri : 16 Januari 1948
Wilayah : Kota Madura dan sekitarnya
Pemimpin : Tjakraningrat

Selain negara-negara boneka yang diciptakan oleh Belanda, terdapat juga daerah-daerah yang memiliki otonomi seperti Kalimantan Barat, Dayak Besar, Banjar, Kalimantan Tenggara, Jawa Tengah, Bangka, Belitung, dan Riau. Daerah-daerah tersebut dikepalai oleh Sultan Hamid II.
Konsep Negara Federal dan “Persekutuan” Negara Bagian (BFO/ Bijeenkomst Federal Overleg) mau tidak mau menimbulkan potensi perpecahan di kalangan bangsa Indonesia sendiri setelah kemerdekaan. Persaingan yang timbul terutama adalah antara golongan federalis yang ingin bentuk negara federal dipertahankan dengan golongan unitaris yang ingin Indonesia menjadi negara kesatuan.
Dalam konferensi Malino di Sulawesi Selatan pada 24 Juli 1946 misalnya, pertemuan untuk membicarakan tatanan federal yang diikuti oleh wakil dari berbagai daerah non RI itu, ternyata mendapat reaksi keras dari para politisi pro RI yang ikut serta. Mr. Tadjudin Noor dari Makasar bahkan begitu kuatnya mengkritik hasil konferensi. Perbedaan keinginan agar bendera Merah-Putih dan lagu Indonesia Raya digunakan atau tidak oleh Negara Indonesia Timur (NIT) juga menjadi persoalan yang tidak bisa diputuskan dalam konferensi. Kabinet NIT juga secara tidak langsung ada yang jatuh karena persoalan negara federal ini (1947).
Dalam tubuh BFO juga bukan tidak terjadi pertentangan. Sejak pembentukannya di Bandung pada bulan Juli 1948, BFO telah terpecah ke dalam dua kubu. Kelompok pertama menolak kerjasama dengan Belanda dan lebih memilih RI untuk diajak bekerjasama membentuk Negara Indonesia Serikat. Kubu ini dipelopori oleh Ide Anak Agung Gde Agung (NIT) serta R.T. Adil Puradiredja dan R.T. Djumhana (Negara Pasundan). Kubu kedua dipimpin oleh Sultan Hamid II (Pontianak) dan dr. T. Mansur (Sumatera Timur). Kelompok ini ingin agar garis kebijakan bekerjasama dengan Belanda tetap dipertahankan BFO. Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II-nya, pertentangan antara dua kubu ini kian sengit. Dalam sidang-sidang BFO selanjutnya kerap terjadi konfrontasi antara Anak Agung dengan Sultan Hamid II. Dikemudian hari, Sultan Hamid II ternyata bekerjasama dengan APRA Westerling mempersiapkan pemberontakan terhadap pemerintah RIS. Setelah Konferensi Meja Bundar atau KMB (1949), persaingan antara golongan federalis dan unitaris makin lama makin mengarah pada konflik terbuka di bidang militer, pembentukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) telah menimbulkan masalah psikologis. Salah satu ketetapan dalam KMB menyebutkan bahwa inti anggota APRIS diambil dari TNI, sedangkan lainnya diambil dari personel mantan anggota KNIL. TNI sebagai inti APRIS berkeberatan bekerjasama dengan bekas musuhnya, yaitu KNIL. Sebaliknya anggota KNIL menuntut agar mereka ditetapkan sebagai aparat negara bagian dan mereka menentang masuknya anggota TNI ke negara bagian. Kasus APRA Westerling dan mantan pasukan KNIL Andi Aziz sebagaimana telah dibahas sebelumnya adalah cermin dari pertentangan ini.
Namun selain pergolakan yang mengarah pada perpecahan, pergolakan bernuansa positif bagi persatuan bangsa juga terjadi. Hal ini terlihat ketika negara-negara bagian yang keberadaannya ingin dipertahankan setelah KMB, harus berhadapan dengan tuntutan rakyat yang ingin agar negaranegara bagian tersebut bergabung ke RI.


Jadi konflik dan pergolakan yang berkait dengan sistem pemerintahan pernah terjadi seperti yang dipaparkan diatas. Dan sudah tugas kita sebagai generus bangsa yang berkualitas untuk menjaga sistem pemerintahan RI,


Tidak ada komentar:

Posting Komentar